Sepotong.....

Lilypie 6th to 18th Ticker

Thursday, March 30, 2006

Sepotong "Harmonis itu tidak baik"

Ketika dunia jadi harmonis, yang layak dimimpikan meski yang berlangsung adalah sebaliknya, maka Toekang Kritik tidak akan dibutuhkan lagi. Mungkinkah ?
Mungkin saja tidak - toh kondisi itu sahih saja sebagai kemungkinan, dan kemungkinan itulah yang ditawarkan monolog Matinya Toekang Kritik karya Agus Noor. Dunia bertambah sampurno karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu berlaku suatu diktum : kritik itu mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama dan seterusnya. Dengan kata lain, keberadaan kritik adalah mutlak sebagai bagian dari idealitas itu sendiri - dan di sanalah kritik ideologi mendapatkan pembenaran atas kehadirannya.
Dengan begitu apakah artinya jika kemudian Toekang Kritik tidak diperlukan lagi dan karena itu menjadi "mati" ? Kemungkinan pertamaq tentu dunia sudah begitu idealnya sehingga kritik ideologi tidak relevan lagi, bagaikan tiada lagi perjuangan ideologis dalam kepala manusia di muka bumi. Sega;anya sudah "baik-baik saja - meski memang jika demikian, Toekang Kritik kita mestinya bisa meninggalkan dunia ini dengan penuh kebahagiaan bukan ? Namun jika tampaknya ternyata Toekang Kritik tersebut tidak terlalu bahagia, kita boleh mempertimbangkan kemungkinan lain yang ada dalam kepalanya : lenyapnya Toekang Kritik bukanlah sukses kebudayaan, sebaliknya adalah awal ketertindasan abru - dan itulah kemungkinan kedua.
Akibatnya kita sampai kepada suatu penemuan : harmonis itu ternyata tidak terlalu baik, karena untuk menjadi harmonis mustahil tiada kelompok yang ideologinya tidak tertindas. Bukankah "Kesaktian Pancasila" nan ideal berarti musnahnya komunisme (baca : pembantaian manusia yang "dianggap" komunis) yang mau dibolak-balik dari zaman ke zaman tetap saja merupakan kebersalahan, tapi yang di Indonesia sempat-sempatnya selama 30 tahun lebih secara resmi dibenarkan ?
(Sekali-sekali salahkan kaum intelektual ya ?). Toekang Kritik selama Orde Baru berkuasa keberadaannya juga tidak dibenarkan atas nama stabilitas yang mutlak diperlukan demi lancarnya pembangunan (baca: bercokolnya rezim Soeharto). Jika secara tertulis dalam naskah monolog ini tokoh Bambang diacukan kepada SBY, dan harus (sic) diubah sesuai nama presiden siapapun yang sedang berkuasa, jelas merupakan antisipasi bahwa justru kemungkinan ini yang akan berlanjut terus.
Persoalannya, apakah Toekang Kritik ini boleh dibayangkan masih akan ada dalam perbincangan kita jika naskahnya saja sudah "membunuh" eksistensi Toekang Kritik tersebut ? Apakah, dengan referensi berbagai gaya sampakan "Jawa" dalam dramaturgi monolog ini, ngelulu ("membiarkan" kekuasaan merajalela sebagai bentuk "kritik" gaya jawa) merupakan cara monolog ini menyatakan betapa harmonis itu tidak baik ? Di satu pihak kita menemukan dilema atas sikap kritis macam apa yang dimaksud sebagai sahih, di lain pihak kita menemukan keajaiban : betapa mahalnya harga ngelulu selama tiga dekade, yang membiarkan ratusan ribu nyawa melayang, korupsi trilyunan yang menyengsarakan, dan pendidikan nasional untuk patuh yang nyaris memusnahkan inisiatif dan kreativitas seluruh bangsa. Kondisi sosial politik macam apa yang telah melahirkan dan kemudian mensahihkan berlakunya ngelulu tersebut ?
Jangan-jangan ini falsafah tak lebih dari produk kibul penguasa Jawa masa lalu, yang muka badaknya diwarisi para pejabat Republik Indonesia masa kini.
Lakon Matinya Toekang Kritik bukan hanya memberi kita peluang untuk berpikir sungguh-sungguh tentang kontribusi sikap kritis, tapi juga mengingatkan bahwa sikap itu pernah ditabukan dalam kehidupan bernegara kita, sehingga hanya "kritik yang membangun", yang sama sekali tidak kritis itu, boleh hadir sebagai wacana kritis.
Dalam konteks ini, yang disebut harmonis berdiri di atas penindasan, sampai ia menjadi hegemonik: diterima dengan suka dan rela - dan apakh yang bisa lebih mengerikan dari ini ? Maka perlawanan terhadap hegemoni yang manapun adalah penting, demi suatu kesetimbangan kompromis dalam konsensus sosial dan politik - tepatnya, agar kita terbebaskan.

Salam,



Seno Gumira Ajidarma
Pondok Aren, Kamis 19 Januari 2006
14:38

-----
Lanjutan dari Monolog Matinya Tukang Kritik. Sebuah OBITUARI Seno Gumira Ajidarma Toekang Kritik Seni Pertunjukan.
posted by Dhy at 9:31 PM

1 Comments:

Berasa agak aneh Seno yang bisa menulis Jazz, parfum dan insiden memakai kata harmoni sebegitu gloomy nya.
I mean, dalam jazz toh harmoni tidak harus selalu berarti kesepadanan, bahkan tidak juga keselarasan. Harmoni sangat bisa berarti keperbagaian yang saling bertukar bunyi secara kasual. Artinya, bahkan nggak perlu tertib. Seperti obrolan antara dua teman dekat lah, satu thread pembicaraan bisa mulai, tenggelam ditimpa thread lain, untuk kemudian timbul tanpa diundang, lalu luruh memberi jalan buat hal lain yang sama tidak pentingnya, cuma lebih menarik.

4:14 AM  

Post a Comment

<< Home

  • Blogger

  • Google

  • Finalsense

  • Sponsored Links

  • Downloads

  • Games Review

  • Technology Magazine

  • Templates

  • Designed by FinalSense