Sepotong.....

Lilypie 6th to 18th Ticker

Monday, February 05, 2007

Sepotong "Banjir"

"Semarang kaline banjir ..... "

Semarang memang kota banjir, tepatnya kota air, sejak jaman Belanda. Langganan banjir setiap tahun di kawasan Semarang bawah adalah hal biasa. Kebetulan, keluarga saya tinggal di Semarang bagian atas, jadi kemungkinan banjir sangat kecil. Kalau sampai Semarang atas banjir, seluruh duniapun tahu, roda pemerintahan di kota Semarang berhenti, karena pusat pemerintahan berada di Semarang bawah, dan Semarang pun akan menjadi lautan bergabung dengan laut Jawa.

Tapi saya pernah mengalami banjir tahunan di Semarang atas saat masih SMU. Saat itu saya tinggal bersama sepupu di rumahnya yang ditinggalkan orangtuanya ke luar jawa di daerah Banyumanik (kurang tinggi apa coba .....) . Namun banjir itu curang , di satu kompleks perumahan itu, hanya rumah kami yang banjir. Agaknya karena sudah beberapa lama rumah tidak ditempati, pembangunan saluran air (got) di sekeliling rumah dibuat lebih tinggi dari rumah kami (uh....mentang2 ngga ada yang protes ). Sehingga setiap hujan lebat (hujan tahunan) air pasti masuk ke dalam rumah. Saat itu seluruh penghuni rumah naik ke tempat2 yang lebih tinggi (kasur, kursi) supaya tetap kering, setelah hujan berakhir, semua orang rumah turun membersihkan sampah2 yang ditinggalkan oleh banjir. Banjirnya tidak terlalu tinggi, hanya semata kaki, tapi kotorannya itu lhoo....wuih........ Satu setengah tahun kami mengalami hal ini, di tahun berikutnya kami melakukan antisipasi dengan menempelkan malam (lilin yang biasa dibuat mainan anak TK ) untuk menutup sela2 pintu dan semua jalan yang bisa dilalui air dari luar. Berhasil ! Air naik hanya di kamar mandi, dan tidak meluap sampai ke ruang-ruang di sekitarnya.

Masih berkaitan dengan Batavia trip saya (haiah membela diri, padahal .... :p ), hari Kamis kemarin saya sowan ke keluarga kakak ayah saya (pakdhe) yang tinggal di Grogol. Kebiasaan orang jawa menjaga tali silaturahmi dengan sowan-sowan dari satu sodara ke sodara yang lain, dan tentu saja harus menginap, paling tidak harus makan Saya pernah tinggal di sini selama 6 bulan kala ngantor di Kebon Jeruk. Tinggal bersama keluarga pakdhe ini berasa kembali ke rumah orang tua saya. Ayah dan pakdhe memiliki karakter dan air muka yang mirip jadi berasa tidak ada bedanya he he he....

Karena malamnya berkutat dengan photoshop hingga larut malam, Jumat pagi sekitar pukul 5 saya merasa ogah-ogahan untuk bangun ketika Budhe berteriak meminta supaya para asisten rumah tangga bangun dan menolong beliau memindahkan barang-barang ke tempat yang lebih tinggi, "
Supi......, Eni........, bangun....bantu Ibu ngangkat-angkat barang........". Namun mendengar jenis perintahnya yang tidak biasa, saya paksakan juga untuk bangun dan keluar melihat apa yang terjadi. Ternyata oh ternyata, air sudah meluap menggenangi garasi yang letaknya memang paling rendah dibanding daerah lainnya. Alhamdulillah mobil-mobil sudah dipindahkan. Ternyata sejak jam 2 pagi, Masjid di sebelah rumah telah mengumumkan bahwa Pasar Grogol telah terendam air. Saat itu yang terjaga hanya sepupunya sepupu, mas Nanang, yang tidur di lantai atas. Inisiatif dia memindahkan semua kendaraan ke rumah sebelah yang lebih tinggi . Jarak antara pasar Grogol dengan rumah sekitar 100m.

Melihat kenaikan air yang menurut saya cukup cepat, saya sarankan agar barang-barang tidak hanya dinaikkan ke tempat yang lebih tinggi, namun dinaikkan ke lantai 2 sekalian . Namun sebagai pendatang baru yang buta dengan masalah banjir di Grogol, saya menurut saja ketika dikatakan bahwa banjir tahunan seperti ini adalah hal biasa. Benar saja, sekitar jam 9 air terus naik dan tidak ada pertanda surut meski hujan sudah mereda. Barang-barang pun mulai dinaikkan ke lantai 2. Sepupu saya bilang, banjir kali ini tidak biasa, karena biasanya banjir maksimal hanya semata kaki, dan airnyapun tidak sekeruh sekarang. Sekitar pukul 11, pakaian-pakaian, komputer mulai dinaikkan ke lantai atas. Kasur-kasur diberdirikan di atas kursi di atas ranjang, barang-barang yang tidak mungkin dibawa ke lantai atas seperti piano,sofa, kursi-kursi dan kursi periksa gigi, diikhlaskan tak tertolong. Ada satu hal yang benar-benar kami lupakan, air bersih !
:O Baru mulai pukul 8 pagi kami menampung air bersih, sehingga air yang bisa ditampung sangat terbatas karena tak berapa lama kemudian air banjir sudah bercampur dengan air PAM, listrik pun sudah dimatikan.

Air mulai memasuki rumah dari kolam ikan di teras belakang. Setiap melintasi genangan air, buru-buru saya cuci kaki dengan sabun. Dua jam kemudian, ketika air semata kaki dan menggenangi seluruh ruangan, ritual itu ditinggalkan namun saya dan sepupu masih menjerit-jerit jikalau ada kecoa yang mengambang di sekitar kaki (biar banjir, masih genit juga he he.... ) . Sekitar pukul 12, ketika air sudah melewati betis, hanya satu yang menjadi kekhawatiran saya
"Kita nggak melihara lele kan ?" mengingat ada kolam ikan di teras belakang. Saat itu air benar-benar keruh, melihat kaki sendiripun tidak bisa.

Puji Tuhan kami masih bisa makan siang kompor gas memang tidak bisa dipindahkan karena selangnya sudah dipasang permanen, jadi setiap memasak, mba Eni & Supi harus turun ke dapur dan berbasah-basah ria.

Di lantai atas tersedia 3 buku,
Why Men Don't Listen And Women Can't Read Maps , TOEFL Longman dan Patologi. Saya pilih yang pertama , mba Upi (terpaksa ) pilih yang terakhir dan mas Nanang memilih tidur sebagai pembunuh waktu.

Pengalaman banjir semata kaki waktu SMU (he he he....semata kaki aja gaya :p ) cukup memberikan pelajaran bagi saya mengenai gejala-gejala banjir yang akan surut. Ditambah info bahwa salah satu tanggul sungai di dekat rumah jebol, memaksa saya untuk waspada. Saat itu yang ada dalam benak hanyalah, mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Line telepon sempat terputus beberapa jam, satu-satunya akses ke luar hanyalah hp. Semua teman dan saudara di Semarang, Bandung, Tangerang, Depok yang diperkirakan tidak mengalami masalah banjir, dimintai tolong untuk memberikan informasi apa saja berkaitan dengan banjir yang melanda Jakarta, khususnya daerah Grogol. Jadi maap ya....yang lagi rapat ;) , lagi kerja de el el. Tapi trimakasih banyak lho..... yang masih menyempatkan diri menanyakan keadaan serta memberikan info-info yang berarti. Pastinya dari informasi yang didapat, Jumat sore sudah ada
feeling bahwa banjir ini tidak akan surut dalam 1-3 hari, artinya : harus mengungsi ! Mengingat besok Sabtu adalah wisuda sepupu saya di UI Depok, saya dan sepupu, mba' Upi, berinisiatif untuk keluar sementara dari daerah banjir untuk persiapan besok. Untuk itu diperlukan informasi mengenai jalan-jalan yang bisa dilalui. Sayangnya, saudara yang tinggal di dekat jalan utama, Jl. Sudirman, sedang pergi ke Singapore, anak-anaknya sulit dihubungi (jaringan komunikasi mendadak menjadi selektif dalam memilih nomer-nomer yang bisa dihubungi), teman yang bekerja di jalan Sudirmanpun belum membalas sms karena pending berjam-jam (baru dibalas jam 3 pagi, waks....) .
Mas Nanang yang menurut saya intuisi untuk bertahan hidupnya tinggi, sudah sejak jam 3 sore meninggalkan rumah naik
gethek ke Citraland yang berjarak sekitar 500m dengan membayar Rp. 40ribu . Dari dia bisa diketahui bahwa jalanan macet total. Sekitar jam 6 sore ia baru sampai jembatan Semanggi, dan harus turun di situ karena jalanan macet. Batallah niat kami untuk melarikan diri sementara, artinya batal juga wisuda esok (tapi selamat ya mba Upi....tetep jadi dokter kok walau diragukan kemanjuran mengobatinya karena ga diwisuda ).

Karena badan lelah setelah kerja bakti, seluruh penghuni
tewas sekitar pukul 8 malam. Sabtu pagi sekitar jam 3 teman yang bekerja di jalan Sudirman, mba Bebi, baru menerima lalu membalas sms (sedang menyusui ya :) ) yang membuat saya terjaga. Saat itu saya baca juga sms yang dikirimkan pada jam 9 malam oleh teman dari Semarang, Chandra, mengenai berita situasi terakhir banjir di Jakarta yang semakin parah, Ciledug tenggelam, iapun menyarankan saya untuk mencari hubungan komunikasi dengan tim SAR.

Saya tidak tahu dengan pasti topografi Ciledug dan hubungannya dengan daerah yang saya tinggali sekarang, yang saya tahu setiap berangkat dan pulang kerja di kebon jeruk, saya naik bus jurusan Grogol-Ciledug dan salah satu tante saya, sempat tinggal di sana selama 2-3 tahun 20 tahun yang lalu. Kembali saya hujani teman-teman dengan sms menanyakan nomor telepon SAR, hanya beberapa orang saja ding yang punya potensi menjawab, karena pulsa sudah mepet. Diperolehlah nomor penting itu, ditambah lagi adanya pengusahaan bantuan dari posko BNI untuk memberikan bantuan khusus perahu karet ke tempat kami. Memang, tempat kami tidak separah daerah lain yang dilalui tim SAR, tapi dengan pertimbangan sanitasi, suplai makanan (karena tidak parah, bantuan makanan minuman tidak sampai), air bersih, keselamatan , menurut saya penting untuk segera meninggalkan rumah. Kenapa menurut saya ? Karena, hanya saya dan mba Upi yang berpendapat seperti itu, anak-anak muda, mungkin karena hasrat untuk bertahan hidup masih tinggi. Berbeda dengan Pakdhe dan Budhe yang nampak masih tenang-tenang saja. Saya jadi bertanya-tanya pada mba' Upik , "
Aku yang tidak terbiasa dengan banjir, atau Pakdhe dan Budhe yang terlalu tenang ?" Jawabnya, "Kamu yang tidak terbiasa dengan banjir, dan bapak ibuku yang terlalu tenang."
Menurut beliau-beliau banjir akan segera surut dalam beberapa jam lagi, karena dulu-dulu seperti itu walaupun tidak pernah lebih dari mata kaki. Sayang sekali memang, dari orang-orang yang menghubungi dan dihubungi beliau saya kira tidak ada satupun yang memberitahukan situasi yang terjadi di luar. Tapi saya maklum, sangat maklum, karena itu adalah rumah beliau, nilai rasa memilikinya pasti berbeda dengan saya yang hanya datang berkunjung. Saya kira orang-orang yang menghubungi beliaupun akan mengira bahwa kami baik-baik saja, karena setiap ditelepon beliau-beliau tampak tenang-tenang saja bahkan mengajak bercanda. Padahal...:O

Agak ngga enak hati juga ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengungsi sendirian. Sebelum pergi saya coba buat pengkondisian hal-hal yang diperlukan apabila pada akhirnya penghuni rumah bersedia mengungsi. Setelah packing barang-barang yang sekiranya perlu dibawa bila akhirnya pakdhe budhe memutuskan mengungsi, saya pun pamitan dan
sekali lagi membujuk beliau untuk ikut mengungsi, hasilnya........gagal............http://photos1.blogger.com/x/blogger/668/2174/1600/679300/cetuk.gif

Sambil menunggu
gethek lewat saya amati keadaan sekitar. Di depan rumah kami adalah restoran Pondol yang cukup terkenal, mereka memiliki genset sebagai sumber listrik, letaknyapun lebih tinggi dari rumah kami karena merupakan bangunan baru. Di sebelah kiri Pondol adalah bangunan lama yang ditempati oleh anak kos. Saya lihat ada seorang pria yang terus membuang air dari teras rumahnya ke jalanan. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, dia menjawab "Sedang membuang kotoran banjir." waks.... banjir memang membuat orang menjadi semakin tidak jelas, saya balas saja "Oh, nanti kalau sudah selesai tolong rumah sini juga ya..... :D". Mobil-mobil yang dipindah ke rumah sebelah sudah tergenang jok-joknya, sudah pasti harus turun mesin. Di depan saya dua orang berkutat dengan meja-meja yang disusun menjadi gethek. Berkali-kali mereka mencoba gethek yang dibuat, dan berkali-kali pula mereka terjatuh kembali ke air. Bahkan salah satu di antaranya sempat menawarkan pada saya untuk naik gethek mereka dengan gratissss, tapi terimakasih deh Bang, lain kali aja gratisannya

Tiga puluh menit saya menunggu, kira-kira jam setengah 1 siang lewatlah sebuah gerobak sampah yang telah didesain sedemikian rupa sehingga tersedia tempat duduk dan bagasi ala kadar untuk orang yang mau menumpang di atasnya. Sebelumnya saya sudah kontak dengan saudara saya yang lain, sepupu ibu, yang tinggal di daerah Grogol juga namun daerahnya kering, listrik masih menyala, meski PAM sudah mati tapi akses untuk air bersih masih mudah. Putri beliau, mba Maya, akan menjemput saya di Jalan Tawakal Raya sebelah Trisakti.
Kurang lebih 15-20 menit perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai di Tawakal Raya. Jalanan menuju jalan raya sudah mencapai dada orang dewasa. Di jalan raya masih ada daerah yang kering. Mobil-mobil diparkir di situ. Memutar Roxy Hp Center, banjir setinggi betis namun arusnya sangat deras, banyak anak-anak
keceh (bermain air) di situ. Di depan Rumah Sakit Sumber Waras banjir bertambah dalam hingga sepaha, halaman depan Rumah Sakit sendiri tingginya hanya setengah roda mobil. Di Trisakti sendiri banjir cukup dalam, lebih dari pinggang.Di Depan Tawakal Raya banjir mencapai pinggang, memasuki Tawakal Raya banjir semakin rendah.
Setelah bertemu dengan mba Maya, saya turun dari Gerobak Kebesaran :P dan membayar Rp. 60 ribu (btw itu kemahalan ! katanya sie......). Suasana pun mengharu biru (he he he exaggerated), biasa aja ding sesampainya di rumah yang berjarak kurang dari 50 meter, saya mandi, makan kemudian berhibernasi hingga makan malam tiba .







Thanks to : Kris Wijoyo, Chandra Yulian Pasha, Mas Oddy Anjar, mba Bebi, mbakyu suTining :), Tante Yanti sekeluarga, Mba Maya sekeluarga, pakdhe & budhe Gafar serta semua pihak yang telah membantu saya untuk mengungsi baik secara langsung maupun tidak langsung


posted by Dhy at 10:56 AM

1 Comments:

wah, kamu malah kebanjiran ya jeng ?
aku kirain masih di semarang.

9:18 AM  

Post a Comment

<< Home

  • Blogger

  • Google

  • Finalsense

  • Sponsored Links

  • Downloads

  • Games Review

  • Technology Magazine

  • Templates

  • Designed by FinalSense